Summary; hilangnya sang ketua OSIS membuat seluruh penghuni sekolah panik, cemas dan khawatir. Berbeda dengan gadis culun ini, dia terlihat sangat santai dan tenang.
.
.
.
Ku langkahkan kaki jenjangku di lorong sekolah
menuju kelasku. Dengan mata terfokus pada sebuah novel yang sedang ku baca ini,
ku percepat langkah kakiku. Banyak pasang mata yang memandang tidak suka
denganku. Bahkan, tak jarang diantara mereka yang mencibirku dengan perkataan
kotor mereka. Ku acuhkan mereka dan terus berjalan sambil membaca novel,
hingga....
BRUGH!!!
Aku menabrak seseorang, yang mungkin lebih besar
dariku. Tubuhku terhuyung kebelakang sebelum akhirnya terjatuh kelantai,
novelku terlempar dan kacamataku agak turun.
“Kau, kalo jalan gak pake mata apa? Kau tau gak? Aku
lagi buru-buru. Aku lagi bingung nyari ketua OSIS yang ilang” bentaknya. Aku
masih dengan kondisi terduduk, ku angkat kepalaku perlahan. Mataku membulat
sempurna melihat laki-laki yang berdiri didepanku. Lelaki dengan paras yang
tampan, tubuhnya tinggi, kulitnya putih, mata elangnya, rahang tergasnya,
kemeja seragamnya yang pas dibadannya, rambut blondenya. Dia sang ketua basket,
namanya Satya.
“Ma...maaf. Aku gak liat, tadi fokus ke novel”
kataku merunduk. Bukannya aku pengecut, tapi aku hanya tidak mau menambah
masalah. Karna aku berbeda jauh dengannya, aku hanya wanita culun, dengan
kacamata tebal yang bertengger manis di hidungku, rambut dikepang satu, dan
selalu bermain di perpustakaan.
“Ah! Aku gak punya urusan sama orang culun kaya kau!”
hardiknya dan pergi meninggalkanku. Ku berdiri dari posisiku dan membersihkan
rokku dari serpihan debu. Ku mengambil novelku dan melanjutkan perjalananku
menuju kelas.
“Dasar cewe genit! Centil! Beraninya nabrak ketua
basket!”
“Dasar cewe culun!”
“Cewe kutu buku! Culun! Kampungan!”
“Gak ada yang mau nerima cewek culun sepertimu!!!”
“Cewe culun! Gak ada yang mau sama dia disini!”
Itulah beberapa cacian mereka yang terdengar
ditelingaku. Aku sudah terbiasa dengan ini semua. Setidaknya, hanya tinggal
melewati 1 tahun lagi di sekolah ini. Dengan perasaan pilu dan air mata yang
siap meluncur turun kapan saja, ku berlari menuju kelasku.
.
.
.
Sesampainya dikelas, aku duduk di bangkuku. Ku
jatuhkan kepalaku keatas meja. Kuangkat kembali kepalaku dan melanjutkan
membaca novelku.
“Billa! Sini gabung sama kita” kata satu teman
kelasku, yaitu Sica.
“Gak ah. Aku lagi baca novel” jawabku mengangkat
novelku. Sica hanya mengangkat bahunya dan kembali mengobrol dengan siswi
lainnya.
Kulanjutkan acara membaca novelku yang sempat
tertunda tadi. Hingga telingaku mendengar perbincangan teman-teman kelasku.
“Ketua OSIS sekolah kita mau diganti? Kenapa
emangnya?”
“Aku denger sih. Ketua OSIS kita hilang! Katanya
dia diculik gitu. Tapi sampai sekarang belum juga berhasil ditemukan. Kasihan
sekali ketua OSIS kita ya? Padahal dia itu cowo keren, anak paskibra, tinggi,
juga pinter”
“Iya, kalau aku tau siapa yang berani ngelakuin
itu... bahkan aku cabik-cabik tubuh dia, bakar, aku pukul-pukulin”
“Emang kamu berani? Mukul kecoa aja masih suka teriak-teriak”
“Hahahahaha...”
Ku angkat satu sudut bibirku keatas dan kembali
melanjutkan membaca novelku hingga akhirnya guru pelajaran datang.
.
.
.
Ku rebahkan tubuhku diatas ranjang Apartementku. Ya,
aku sudah pulang sekolah dan aku memang tinggal sendiri di sebuah apartment
disebuah kawasan elit.
Ku buka kepangan rambutku dan dasi sekolahku. Ku
lepas kacamataku dan meletakkannya diatas meja nakas. Ku terduduk dipinggir
ranjangku. Pandanganku terfokus pada sebuah pintu besi bermotif panda itu.
Ku langkahkan kakiku menuju pintu besi itu dan
membukanya perlahan. Senyumku melebar ketika melihat pemandangan yang berada
didepanku saat ini. Seorang laki-laki dengan keadaan bertelanjang dada
memperlihatkan luka-luka yang berada di badannya, kedua tanganya dirantai pada
sebuah dinding beton, kaki-kakinya juga ikut dirantai, surai rambutnya
berantakan, sudut bibirnya yang sedikit robek, dan cipratan darah di celana
seragamnya, dia adalah Farhan. Si Ketua OSIS. Yang selama ini dikabarkan
menghilang dan tidak dapat ditemukan, berada di sebuah ruangan pengap dan
disekap berhari-hari.
Ku berjalan mendekat, “Mau aku ambilin makan? Aku
tau kau laper, karna belum makan. Tunggu sebentar ya” kataku.
“Tunggu!” ujar Farhan. “Lepasin aku... aku mau
pulang, pasti banyak yang nyariin aku. Orangtua aku pasti khawatir” lanjutnya.
“Kau gak akan pernah bisa pulang, sebelum aku puas
ngelakuin apapun ke kau. Lagi ula, tidak ada yang mencari dirimu. Semuanya
tidak ada yang membicarakanmu” kataku dengan datar.
“Kenapa kau lakuin ini, huh? Kenapa selama ini kau
drama didepan banyak orang?” tanyanya. Bisa ku lihat sebuah kesedihan dari
matanya.
“Jangan banyak tanya! Itu semua bukan urusan kau!”
kataku berjalan agak mendekat kearahnya. “Kenapa kau mau tau tentang itu semua?
Apa itu penting buat kau?!” tanyaku mengambil sebuah pisau lipat yang biasa aku
gunakan untuk melukai Farhan. Ku mainkan pisau itu tepat di dadanya.
“Dasar gila! Dasar psycho! Jangan lakuin itu lagi! Luka-luka
aku belum pada kering...” katanya memohon.
“Apa kau bilang? Psycho? Panggilan yang bagus. Tapi
tenang aja, aku gak akan sampai ngebunuh kau” tawaku.
“Hentikan sandiwara ini! Kau! Sebenarnya apa tujuan
kau ngelakuin ini semua?” tanyanya dengan menahan kedua tanganku.
“Kau gak akan ngerti ini semua!” bentakku.
“Aku bakal coba ngertiin semuanya. Asal, kau
jelasin semuanya” katanya dengan suara agak serak. Kedua manik mata kami saling
bertemu dan bisa kulihat semuah keseriusan berada pada matanya.
“Jadi... jadi sebenernya... aku itu suka sama kau! Tapi
karna kau gak akan suka sama aku... jadi aku lakuin ini semua, biar kau gak
bisa pergi kemana-mana dan biar aku bisa lebih dekat sama kau. Aku tau cara
gaku salah, tapi buktinya ini berhasil buat kau ada dideket aku” kataku menjelaskan,
ku tundukan kepalaku karna tak berani menatap mukanya. Ku gigit bibir bawahku,
takut jika dia akan membentakku.
“Aku mau kau lepas kepangan rambut kau, biarin
tergerai seperti ini. Dan... dan lepas kacamata itu, aku tau mata kau sehat,
dan kacamata itu... itu cuma kacamata gaya, iya kan?”
“Iya, kau bener. Ini cuma gaya doang” jawabku
menatap sembarang arah.
“Kau lebih cantik. Kalau kamu lepas kacamata itu,
dan kauu ganti model rambutnya. Dan aku yakin gak akan ada yang bully kau lagi”
katanya mengelus rambutku.
“Tapi...”
“Oke. Sekarang kau lepasin rantai-rantai ini. Dan kita
mulai dari awal. Aku bakal anggep kejadian ini gak pernah terjadi dan gak akan
bilang ke siapa pun. Aku juga suka sama kau, saat kau gak pakai kacamata itu
dan kau lepas kepangan rambut kau” katanya memegangi pipiku.
“Tapi, itu bakal sulit. Pertama, kau udah aku
siksa, udah aku sakitin. Dan kedua, kau banyak yang suka. Dan ketiga, kau itu
ketua OSIS” kataku menepis tangannya.
“Aku bilang, kita pulai dari awal, oke?” tanyanya. Aku
hanya mengangguk pelan memberi isyarat. “Pintar. Sekarang lepasin ranta-rantai
ini semua” katanya.
Ku berjalan menuju meja riasku, tempat aku
menyimpan kunci rantai itu semua. Ku lepaskan semua rantai yang melekat pada
tubuhnya. Farhan langsung berdiri dan merengangkan otot-ototnya. Aku berdiri
dan melangkah keluar, “ayo makan. Aku udah beli makanan saat pulang sekolah
tadi” kataku tetap melanjutkan langkahku.
Farhan menahan tanganku, “Tunggu”
Aku membalik badanku dan menatapnya datar, “Apa
lagi? Aku udah bukain rantainya. Mau apa lagi, huh? Apa yang kurang?” tanyaku.
Farhan menarikku dan membawanya dalam dekapannya, “Terima
kasih”. Aku tidak bergerak sama sekali, berusaha mencerna apa yang baru saja
terjadi.
“Lepas! Ayo makan! Habis ini, kau harus beli
seragam baru di toko seragam. Kau bisa pergi sendiri kan? Abis itu, kau bisa
pergi dari sini” kataku berjalan semakin menjauh.
Ku dengar langkah kaki mendekat, “Nanti temenin aku
ya? Aku gak mau jalan ke luar sendiri. Sayang mau kan temenin aku?”. Tunggu...
apa? Apa ini mimpi? Huh, menyebalkan sekali anak ini.
“Tunggu... kenapa jadi sayang, huh? Jijik banget
dengernya,” tanyaku menatap tidak suka kearahnya.
“Oh, ayolah. Kita kan sama-sama suka. Jadi apa
salahnya kita memulai sebuah hubungan sekarang aja? Sebelum terlambat” katanya
memgang tanganku.
“Tapi kan, ini bakal susah buat kau. Dan tolong
jangan lebay dan alay di apartment aku” kataku menepis tangannya.
“Kita mulai dari nol, oke? Oh, ayolah... mau ya temani aku? Dan aku boleh ya tinggal
disini? Aku mohon...” pintanya dengan mengedipkan mata beberapa kali. Oh Tuhan,
entah kenapa aku ingin memukul matanya itu.
“Oke! Tapi sekarang kita makan” kataku mengacuhkannya.
“Dasar dingin...” rengeknya.
“Dasar alay!” kataku tak mau kalah. “Apa kata semua
orang. Kalau tahu, sang ketua osis yang selama ini selalu dibanggakan ternyata
memiliki sifat manja dan kayak anak kecil?” tanyaku yang berhasil membuatnya
bungkam.
.
Farhan sibuk memilih seragam sekolahnya dan aku
hanya duduk melihatnya berkeliling mencari keperluannya. Seperti, celana
seragam dan kemeja sekolah dan juga beberapa kaos, tas, swetter, sepatu, topi,
dan juga beberapa celana.
“Kau terlihat seperti orang yang pertama kali
belanja. Kau sangat boros, Farhan. Aku pusing melihatnya. Menyebalkan” ejekku
sambil menunjukan muka sebal.
“Jangan begitu. Jika aku kembali kerumah, mungkin
aku tidak akan bisa kembali karna aku mungkin akan langsung pindah ke canada”
katanya sambil memilih beberapa sepatu dan topi.
“Canada? Tapi kenapa pindah ke Canada?” tanyaku. “Orangtuaku
pasti akan trouma dengan kejadian ini. Tapi... mungkin suatu hari aku akan
kembali ke rumah” jawabnya.
“Maaf” lirihku. Kumainkan kakiku dengan
menggerakannya.
“Tidak apa” jawabnya mencium keningku singkat
sebelum akhirnya ia tersenyum. Kenapa senyum itu masih bisa ia keluarkan
didepanku, walau aku sudah berbuat jahat padanya.
“Ayolah. Bisa kau percepat. Aku bosan” rengekku. Aku
berdiri dan berniat meninggalkan Farhan, sebelum aku melihat beberapa orang
yang satu sekolah denganku. Ku urungkan niatku dan mendekati Farhan yang masih
sibuk dengan pilihan swetternya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Itu” kataku menunjuk tiga orang yang sedang
melihat koleksi mantel di toko ini, dan satu tanganku mengandeng tangan Farhan.
“Ohhh... biarkan saja. Tetaplah pada posisi ini. Jika
mereka melihatnya, akan lebih baik. Mereka yang akan menjadi sanksi kita,
paham?” katanya. Aku hanya menggeleng dan mengeratkan tangannya.
“Diluar kau jadi ayam betina? Tapi jika sudah
dirumah nanti, kau akan menjadi singa betina?” ejeknya.
“SIAPA YANG KAU MAKSUD DENGAN SINGA BETINA? HUH!!!”
teriakku. Seluruh pengunjung toko menatap kami, begitu pula dengan teman
sekolahku juga. Oh tidak, kini mereka muai berjalan mendekat.
“Kau kan.... Farhan? Kenapa ada disini? Dan siapa
dia?”
“Oh! Hey, Rana! Delvi! Mitha! Apa kabar?” sapa
Farhan ke mereka semua. Sedangkan aku? Aku hanya menundukan kepalaku, tidak
berani menatap mereka.
“Siapa dia Farhan? Mukanya tak asing” tanya Rana
sinis.
“Pacar baru? Anak sekolah mana? Kelas berapa?” kini
giliran Delvi yang bertanya. Tuhan, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Tuhan
tolong selamatkan aku.
“Oh! Iya, dia pacar baruku. Namanya Billa. Dia satu
sekolah sama kita dan dia anak kelas 11 – 1” kata Farhan mencium kilas bibirku.
Bisa kurasakan bila mukaku akan memerah, dan mungkin akan sampai hingga telingaku.
“Apa? Anak culun itu? Tapi bagaimana bisa? Bagamana
bisa dia jadi cantik begini, huh? Apa dia operasi pelastik pulang sekolah tadi?”
tanya Mitha mengangkat mukaku.
“Jangan kasar begitu. Dia emang aslinya seperti
ini. Cantik bukan? Selama ini dia hanya drama. Karna dia tidak mau menjadi
perempuan cantik disekolah” jawab Farhan sok tau.
“Kalau begitu, kau besok bisa ikut kita bertiga
berkumpul. Kau bisa jadi cewek famous disekolah
nanti. Bagaimana?” tanya Rana mengulurkan tangannya.
“Terima kasih atas tawarannya. Aku akan coba ikut. Hanya
tinggal melihat kondisinya besok” jawabku menjabat tangannya.
“Kita duluan, ya?” kata Farhan pamit dan agak
menarik tanganku. Ku membantu Farhan membawa belanjaannya menuju parkiran
mobil.
.
“Sekarang kita ke sekolah. Jangan takut, oke?” kata
Farhan, membukakan pintu mobil. Kuturun dari mobil dan merapihkan sedikit
rambutku. Kini aku sudah melepas kacamataku dan membiarkan rambutku digerai
bebas.
“Ya. Semoga Tuhan memberkati hari ini. Amien” kataku
mengandeng tangan Farhan. Dan kami berjalan bersamaan, banyak pasang mata yang
menatap bingun, ada juga yang menata kami iri. Tapi kata Farhan “cuekin aja”. Dan
sekarang Farhan mengantarku hingga kedepan kelas
“Sampai nanti di jam pulang. Aku akan kekelas
kamu,oke?” katanya mengelus rambutku. Dan mencubit pipiku. Farhan menarik
tengkukku dan kami berciuman didepan kelas. Ku dorong tubuhnya dan menatapnya
tajam.
“Jangan disini, bodoh. Apa kau tidak malu?” ocehku
memegangi bibirku yang basah.
“Maaf. Sampai nanti jam pulang. Istirahat nanti aku
ada latihan basket, oke? Bye!” katanya meninggalkaku yang masih setia memasang
muka tidak suka.
“Dasar cowo alay?!” rajukku dan melangkah masuk
kedalam dan duduk dikursiku.
“Hai, Billah! Kenapa diganti penampilannya?” tanya
Tasya. Temen kelasku yang satu ini, orangnya selalu ingin tau dan paling bawel
dan cerewet. Bukannya menjawab, aku hanya menatapnya dingin dan tajam, seperti
sedang mengulitinya. Dan cara itu berhasil membuatnya pergi menjauh.
“Ayo semuanya duduk di tempat kalian” kata Pak
Fathir memasuki kelas.
.
.
.
Krring... kkrriing.. krriing..
Bel sekolah sudah berbunyi dan menandakan bahwa
proses mengajar sudah selesai dan waktunya kembali ke rumah.
“Bil, tadi gua abis buang sampah ngeliat Farhan,
kamu lagi dicariin sama Farhan tuh. Dia ada didepan kelas” kata Natali. Sontak,
aku berdiri memakai tasku dan berjalan keluar, “Terima kasih infonya” kataku akhirnya keluar kelas dan
melihat Farhan.
“Ayo pulang” kata Farhan. Aku merasa canggung,
karna disini ada teman-temannya Farhan, bahkan juga ada Satya.
“Hai, Billa... Lu jauh lebih cantik. Apa Farhan
sering melakukan sesuatu hal yaa kau tau lah maksudku?” tanya Ravel menaik
turunkan alisnya.
“Hey mesum! Aku tidak mungkin melakukan itu” elak
Farhan manyenggol lengan Ravel. “Aku hanya akan menciumnya jika dia cerewet”
lanjutnya.
“Apa? Bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya
bibirnya, huh?” tanya Satya menepuk pundak Farhan.
“Kau yang mengambil first kiss Billa? Oh Tuhan. Menakjubkan”
kata Hendri membulatkan matanya, itu terlihat lucu karena matanya yang sangat
sipit kini berbentuk bulat sempurna.
“Ya, begitulah. Kurasa kalian juga pernah mencium
bibir seseorang bukan? Jadi jangan bertanya lagi padaku” kata Farhan sekilas
melirikku dengan smirknya.
Aku hanya menundukan kepalaku malu, semoga saja
wajahku tidak semerah kepiting rebus. Oh, ini benar-benar akan memalukan, dan
jika aku tetap berada disini akan semakin terpojok.
Ku menjauh dari Farhan dan teman-temannya. Aku
sedikit berlari agar lebih cepat menjauh. Kini aku benar-benar malu. Jika ini
bukan disekolah, mereka akan aku ikat dengan rantai kesayanganku dan aku siksa
habis-habisan.
“Billa! Tunggu! Kalian membuatnya malu guys!”. Kurasa Farhan mulai mengejarku. Ku
semakin mempercepat langkahku dengan berlari.
“Semangat mengejar Farhan!!” teriak Satya, Hendri
dan Ravel.
Ku berlari entah menuju lobi utama dan akan keluar
gerbang dan menuju apartementku. Aku berlari tanpa melihat sekelilingku, hingga
aku menabrak seseorang.
Bugh!!
“Awwh” lirihnya. Kulihat dia tidak memakai seragam
sekolah sepertiku, bahkan dia tidak memakai seragam. Mungkin dia murid baru
atau murid kiriman.
“Maaf, aku minta maaf telah menabrakmu. Aku tadi
tidak melihat jalan” kataku menyesal. Ku membantunya berdiri dan aku tercengang
melihat korban yang tadi aku tabrak. “Salsa”
“Billa! Maafin temen-temen aku ya?” kata Farhan
yang muncul dari tangga di ujung ruangan. “Siapa dia, Billa?” tanya Farhan.
“Siapa dia? Kekasihmu? Ku pikir kau tidak punya
teman disini. Mengingat kejadian 3 tahun lalu. Ketika teman-temanmu hampir
menjatuhkan pot bunga diatas kepalamu dan kau membunuh mereka sepulang sekolah.
Bahkan, mulai saat itu kau selalu memusnahkan orang-orang yang mengusik hidupmu”
ejek kakaknya Billa. Sedangkan Billa, dia hanya menatap tajam kakakaknya. “Ku
harap sekarang kau tidak salah dalam memilih teman, Billa” lanjutnya mulai
berjalan meninggalkan Billa.
“Jaga ucapanmu, laki-laki keparat!!!” teriak Billa
mendaratkan bogem mentah pada pipi kakaknya, hingga kakaknya jatuh tersungkur. Napas
Billa memburu dan kembali memberikan bogem mentah pada kakaknya. Farhan yang
melihat itu hanya melihat bingung.
Tangan Martin –kakaknya Billa- menahan kedua tangan
Billa kuat-kuat, “Sekarang kekuatanmu boleh juga. Apa kau selalu ikut bela
diri, setelah kejadian Ayahku membunuh Ibumu, huh?” tanya Martin dengan
smirknya.
“Kenapa kau pindah sekolah disini. Apa kau ingin
memataiku, huh? Tak cukupkan kau dengan Ayahmu membunuh Ibuku dan mengusirku
dari rumah asli milik mendiang Ibuku dan memisahkanku dari kakak kandungku? Dari
awal aku memang tidak mau mempunyai saudara sepertimu. Kau menjijikan! Menyebalkan!
Aku benci kau, kak!” kata Billa tepat didepan muka kakaknya dengan air mata
yang mengalir bebas dipipinya.
“Billa. Sudahlah, kita pulang saja. Aku tau kau
sedang lelah” kata Farhan membujuk Billa. Namun, Billa dan Martin masih saling
tatap seakan saling menyalurkan amarah.
“Apa kau sudah berubah, huh? Apa kau masih menjadi
seorang psycho, yang berkeliaran dimalam hari mencari mangsanya hanya untuk
balas dendam atas kematian Ibunya?” tanya Martin seakan mengejek.
“Kau jahat!” isak Billa. Farhan, baru kali ini
melihat Billa menangis. Dan ternyata masa lalu Billa sangatlah kelam. Dan
itulah alasan dia menjadi wanita psycho. Semua karena AyahTiri dan kakak
tirinya yang telah membunuh Ibunya dan mengambil alih atas semua kekuasaan
Ibunya.
“Menjauh dari dia, Billa!!!” teriak Satya, yang
entah dari mana. Dan kini Satya sudah menjauhkan Martin dari Billa.
“Kenapa kau disini, Satya? Bukannya kau tadi sudah
ingin pulang? Kenapa masih disini?” tanya Farhan merangkul Billa.
“Tadi aku meninggalkan sesuatu di kelas. Dan ketika
aku kembali, aku melihat Billa sedang berurusan dengan Martin” kata Satya
menatap tajam Martin.
“Kau kenal dia, Satya?” tanya Farhan dan Satya
hanya mengangguk sebagai jawaban, dan Satya langsung pergi meninggalkan mereka
semua. ‘aneh’ gumam Farhan dalam hati.
“Kau! Akan kupastikan kau akan menyesal karna
memilih sekolah disini” ancam Farhan.
“Ku tantang kau! Jika kau bisa merubah Billah
menjadi wanita yang baik aku akan segera pindah sekolah dari sini. Tapi, jika
kau tidak bisa merubahnya, kau dan temanmu yang tadi harus pergi dari sekolah
dari sini” ancam Martin dengan smirknya.
“Aku setuju! Jika hanya merubah sikap dan sifatnya
itu sangat mudah. Kau kupastikan akan kalah dan pergi dari sekolah ini.
SECEPATNYA!” lanjut Farhan pergi dengan Billa dan meninggalkan Martin
sendirian.
-_-_-_-_-_-_-_-
Hari demi hari, Farhan selalu menjauhkan Billa dari
benda-benda tajam dan mengajarkan cara menahan emosi. Farhan juga mengajak
Billa untuk mengikuti terapi, walau terkadang ditolak mentah-mentah oleh Billa.
Farhan juga membuang semua foto keluarga Billa, kecuali foto-foto mendiang
Ibunya. Farhan juga sering membelikan
Billa cokelat untuk membantu meredam amarah. Dan setiap hari Farhan selalu
menempel dengan Billa, kecuali untuk mandi. Bahkan, Farhan memindahkan kelasnya
agar sekelas dengan Billa. Dan terkadang, Farhan sering mengajak Billa
ketempat-tempat ramai dan padat namun romantis. Mereka selalu melakukan hal berdua
seperti, memasak, membersihkan apartement, mencuci pakaian, mencuci kendaraan,
bahkan belanja kebutuhan.
-4 bulan kemudian-
“Billa! Tangkap bola ini” terian Ravel memberi
aba-aba pada Billa untuk menangkap bola. Namun, bola itu mendarat dikepala Billa.
“Awh” rintih Billa.
“Maaf. Aku tidak sengaja. Maaf, Bil” mohon Ravel
mengelus-elus rambut Billa. “Tidak masalah” jawab Billa tersenyum manis.
“Jadi sekarang, Billa sudah berubah ya? Dari yang
dulunya pemarah dan pendendam. Kini menjadi ramah dan pemaaf. Aku mengaku
kalah. Aku akan pindah besok” kata Martin berjalan dari tepi lapangan menuju
kerumunan Billa.
“Terimakasih, kau tidak perlu pergi. Kita bisa
mengulang dari nol lagi, jika kau mau” kata Billa tersenyum miris.
“Lihat! Dia sudah berubah. Dan aku berhasil
mengubahnya” kata Farhan merangkul bahu Billa.
“Ya, dia berubah.” Kata Ravel dan Satya tertawa.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar